Demo Blog

KEANEKARAGAMAN BUDAYA DI INDONESIA

by shela mutia on Nov.22, 2009, under

telah kita lihat bahwa di indonesia memiliki banyak berbagai kulture budaya,suku,agama dan ras di indonesia.
bahkan kebudayaan tersebut,bahkan di beberapa daerah pun masih kental terhadap kebiasaan para leluhur kita .
seperti upacara adat dan perayaan-perayaan hari penting. beberapa daerah di indonesia yang masih kentalculture budaya.
seperti Daerah Istimewa Yogyakarta
 Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmiKesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota YogyakartaDaerah Istimewa YogyakartaIndonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggalsultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.

Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.

Batik Kayu Warisan Budaya Yogyakarta


Kerajinan adalah salah satu keunggulan daya tarik wisata yang mampu mendukung Yogyakarta sebagai kota pariwisata . Berbagai sumber potensi mengangkat citra kota yogyakarta , salah satunya adalah sentra kerajinan , dengan berbagai macam kerajinan yang ada di kota yogyakarta , maka pantaslah bahwa kota yogyakarta mendapat julukan sebagai kota kerajinan.
Berbagai barang kerajinan tumbuh dengan pesat di kota yogyakarta. Barang kerajinan yang mereka hasilkan ada yang di jual untuk wilayah domestik , maupun mancanegara. Di dukung dengan banyaknya sumber bahan baku dan keterampilan yang dimiliki , baik dari pengrajin bersekala besar maupun pengrajin dalam skala kecil , berusaha menawarkan produk terbaiknya pada konsumen , sehingga muncul persaingan antar mereka. Aneka macam kerajinan yang ada di kota yogyakarta semakin tumbuh dan berkembang sesuai dengan permintaan pasar . Seperti halnya kerajinan batik, yang sekarang ini dikembangkan bukan hanya pada media kain, melainkan pada media kayu.
Membatik diatas kayu sudah menjadi kepiawaian masyarakat Yogyakarta tepatnya di Dusun krebet. Batik kayu yang mereka hasilkan juga sangat beragam, mulai dari topeng, miniature binatang, miniature furniture dan pernak-pernik hiasan lainya dengan dihiasi berbagai motif yang sangat cantik dan menarik. Proses pembuatanya juga hampir sama dengan membatik diatas kain, hanya saja medianya diganti menjadi kayu.

Tamansari, Karya Monumental Sultan Pertama

Tamansari juga disebut sebagai watercastle, yaitu sebuah istana di atas air yang terletak di sebelah barat daya Keraton Kasultanan Yogyakarta. Pesanggrahan atau tempat peristrahatan yang juga disebut sebagai Keraton Lama ini, mulai dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758. Sebagaimana termuat dalam Babad Mangkubumi, Sultan menunjuk Kyai Tumenggung Mangundipuro sebagai penanggung jawab.gagasannya, didampingi oleh Lurah Dawelingi yang berasal dari Bugis. Sebelum proses pembangunan dimulai, Sultan sempat mengutus Tumenggung Mangundipuro ke Batavia untuk mengamati bangunan VOC yang berdiri di sepanjang Sungai Ciliwung.
Biaya pembangunan Tamansari sebagian berasal dari pajak atau upeti rakyat Madiun dibawah pimpinan Bupati Prawirasentika, yang kemudian bertindak sebagai pelaksana proyek. Di tengah proses pembangunan, Bupati Prawirasentika mengundurkan diri dan posisinya digantikan oleh salah satu putra Sultan, yaitu Pangeran Notokusumo, yang di kemudian hari bergelar sebagai Sri Paku Alam I. Konon, pembangunan Tamansari juga melibatkan seorang ahli bangunan dari Portugis yang terdampar di Pantai Glagah Kulon Progo, yang oleh Sultan diberi nama Jawa : Demang Tegis.
Tamansari adalah bangunan dengan corak multikultural yang memadukan gaya arsitektur Jawa, Portugis, Belanda dan Cina. Dalam bingkai budaya, bangunan Pesanggrahan Tamansari juga merangkum kosmogoni Jawa, Islam, Nasrani, Hinduisme serta Budhisme.

Festival Upacara Adat Yogyakarta 

Sebuah peristiwa budaya yang langka mengangkat berbagai Upacara Adat yang dipertunjukkan dalam sebuah kemasan atraksi budaya dengan koreografi yang menarik untuk pertamakalinya dalam sejarah di kota budaya Yogyakarta. Tujuan acara ini adalah untuk penguatan nilai-nilai kearifan lokal, pewarisan semangat pelestarian pada generasi muda, mendukung ruang ekspresi budaya bagi kaum adat, meningkatkan kualitas dan tampilan Upacara Adat menjadi atraksi budaya rutin tahunan serta menunjang kepariwisataan di Yogyakarta.

Keseluruhan ritual adat yang dipagelarkan adalah yang berhubungan eksistensi air (laut), bumi (tanah) dan gunung (api). Pelaksanaan Upacara Adat merupakan perwujudan jati diri masyarakat Jawa dengan karakter yang relijius, memuja Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Esa dengan ubarampe atau simbol-simbol yang memiliki makna, jadi bukan sebagai hal yang saat ini banyak dipersepsikan sebagai hal yang musyrik atau berlebihan karena tidak mengetahui arti filosofis yang dikandungnya.
Hal lain yang sangat menarik adalah bagaimana menyaksikan upacara adat yang langka, jarang kita dengar, apalagi disaksikan oleh generasi muda - namun tetap eksis di pelosok pedesaan - seperti Tuk Sibedug & Bekakak dari Sleman, Babad Dalan & Cingcing Goling dari Gunungkidul, Nawu Enceh & Maheso Suro dari Bantul, Wiwitan & Nawu Sendang dari KulonProgo serta Ruwatan & Merti Code dari Kota Yogyakarta akan ditampilkan dengan pelaku-pelaku dan propertinya aslinya tapi ada di tengah-tengah kota besar bahkan dipamerkan dengan karnaval/kirab keliling – mengelilingi Beteng Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat agar dapat disaksikan & mendapat apresiasi dari masyarakat luas.
TRADISI KEHIDUPAN BALI YANG KOKOH




Tradisi kehidupan desa adat (Pekraman) di Bali hingga kini tetap kokoh dan eksis sesuai perkembangan zaman, meski hal itu diwarisi jauh sebelum Indonesia merdeka.

"Masing-masing desa pekraman mempunyai adat kebiasaan atau `awig-awig` untuk mengatur tatanan kehidupan, sesuai situasi dan kondisi objektif tempat, 

 bukan berarti desa adat di Bali bebas dari masalah, karena berbagai persoalan muncul dari aktivitas keseharian warga desa pekraman.

Hanya saja masalah yang muncul lebih sederhana yang dapat diselesaikan secara sederhana pula oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat, sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama, baik secara tertulis maupun lisan.

Semua itu didasarkan atas konsep keseimbangan, saling menghargaai dan menghormati satu sama lainnya, bahkan sangat jarang sekali kasus adat penyelesaiannya melalaui jalur hukum.

"Kondisi yang diterapkan desa adat di Bali menurut pakar hukum adat Indonesia koesnoe disebut sebagai cara penyelesaian sengketa yang dilandasi atas kerukunan, kepatutan dan keselarasan,

Di Bali hingga kini tercatat 1.453 desa adat, bertambah dibanding sepuluh tahun sebelumnya yang tercatat 1.371 desa tersebar di delapan kabupaen dan satu kota.

Prof P. Windia menilai, peran desa pekraman dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul di wilayahnya masing-masing sangat besar. Jika ada masalah yang muncul, baik dipicu masalah pribadi, keluarga maupun masyarakat pertama-tama akan diselesaikan oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat.

Jika kata sepakat tidak tercapai, permasalahan akan dibahas dalam rapat (paruman) yang melibatkan seluruh warga desa pekraman. Warga desa yang terbukti melakukan pelanggaran adat, namun tetap bersikukuh dengan pendiriannya, tidak bersedia menaati keputusan rapat dapat dijatuhi sanksi.

Sanksi tersebut mulai dari yang paling ringan berupa permintaan maaf kepada seluruh warga, sampai yang paling berat, berupa pemberhentian atau dikucilkan sebagai warga desa adat (kasepekang).

Wayan P. Windia, satu-satunya gurubesar bidang hukum adat di Bali itu menambahkan, desa pekraman setelah menjatuhkan sanksi menganggap permasalahannya telah selesai, tanpa perlu membahasnya lebih lanjut, apakah yang dikenakan sanksi itu menangis atau apakah sesuai atau tidak dengan hak azasi manusia (HAM).

"Apapun jenis sanksi yang dijatuhkan tidak menjadi soal bagi orang lain atau desa pekraman yang lain, karena hal itu dianggap urusan intern desa pekraman sesuai desa "mawacara", yakni tradisi adat dan kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun.
0 komentar more...

0 komentar

Posting Komentar

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!