lanjutan penulisan umum
by shela mutia on Nov.22, 2009, under
Berkorban Maksimalis Demi Pengentasan Keterpurukan
Kita patut bersyukur, bahwa wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi. Luas wilayah tersebut menjadikan Indonesia termasuk Negara besar di banding Negara lain. Apalagi luas wilayah tersebut dihuni oleh Penduduk Indonesia yang hingga tahun 2010 ini diperkirakan berjumlah 234.2 juta.
Angka ini berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), yang dicacah untuk penduduk yang bertempat tinggal disekitar 65 juta rumahtangga. Mereka tinggal di sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Cuaca tropis ini mampu menstimulir tumbuhnya hutan tropis seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Meskipun pada Tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha, atau berkurang seluas 58 % (World Resourches Institute, 1977).
Sudah barang tentu setiap anak bangsa pemerhati “negara tercinta ini”, pasti akan kagum dan bangga, namun juga menangis pilu, apabila mereka mencermati realita yang ada. Betapa tidak kekayaan alam Indonesia ternyata tidak mampu menjadi daya dukung pensejahteraan kita sendiri. Hal ini bukan suatu isapan jempol belaka bila kita mencermati data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa jumlah penduduk miskin telah mencapai 31 juta penduduk atau 13, 3 persen pada bulan maret 2010.
Penentuan kategori keluarga miskin oleh BPS tersebut berdasarkan asumsi penghasilan Rp 7.050 per hari untuk setiap jiwa yang sudah termasuk untuk makanan. Angka tersebut mampu berkembang lagi, apabila tolak ukur angka kemiskinan berdasarkan standar PBB sebesar dua dolar rupiah per hari maka jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat menjadi 34.03 persen atau 78.2 juta orang.
Lepas dari tolak ukur yang mana, realitas ini adalah menjadi milik kita bersama dan telah menjadi tugas kita bersma guna mencari peluang untuk pengentasan kemiskinan ini. Peluang yang mampu “membumi hanguskan” sikap pesimis tersebut muncul pada tahun 2010 ini berdasarkan analisa Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Enrique Blanco Armas, yang menyatakan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat telah memberi sumbangan atas pengentasan kemiskinan, dengan tingkat kemiskinan menurun menjadi 13,3 persen pada Maret 2010 dibandingkan 14,2 persen tahun lalu.
Sudah barang tentu, meskipun Negara telah menganggarkan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan sosial 2010 sebesar Rp 70 triliun Namun anggaran tersebut terasa tidak berdaya lagi, lantaran beberapa tipe kemiskinan meghinggapi masyarakat kita, akibat tindakan sewenang-wenang penyelenggara Negara jaman orde baru, yang dengan life style bernegara yang tidak terkontrol sama sekali.
Akibat pengebirian demokrasi, pembatasan pers dan parpol, tidak terjaminya kebebasan berpendapat dan pembagian kekayaan Negara hanya kepada beberapa komunitas yang memusari Soeharto. Sehingga terciptalah tipe-tipe kemiskinan yang mendarah daging, yang pertama adalah Kemiskinan Struktural. Kemiskinan ini disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya.
Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia. Fenomena seperti ini telah menjadi cirri khas dari orde baru. Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
Namun waktu terus bergulir sebagai sinyalemen bahwa tidak ada keputusasaan pada diri kita dalam me-manage masyarakat sosial kita sebagai pilar utama penyokong eksistensi Negara ini. Penyebab utama timbulnya ke tiga gaya kemiskinan tersebut, sudah barang tentu akan tertepiskan dengan adanya era refofmasi, yang dewasa ini bisa kita cermati adanya berbagai kebebasan dalam bernegara. Faktor ini pula yang mampu menjadi stimulus perkembangan komunikasi sosial dengan instrumrn instrumenya, yang bisa memberi pembelajara kepada rakyat tentang nilai dasar multidimensi sosial. Sekaligus mampu memberi pembelajaran tentang motivasi pengentasan kemiskinan.
Apabila kita memang serius untuk menegakan era reformasi dengan cara supremasi hukum yang kokoh, maka tindakan korupsi, KKN, pungli dan eksploitasi sumber daya alam yang masih di tangani individu, birokrasi yang mempersulit rakyat bisa mencapai taraf minimalis. Maka akan terbuka lebarlah peluang bagi si kecil untuk mampu mengembangkan potensinya. Hal ini akan bertambah afdhol lagi, bila kesadaran tentang kepedulian sesama menjadi kokoh, sebagaimana agama apapun mengajarkan berkorban apa saja untuk kemaslahatan sesama.
Wujud kepedulian sosial sebagai “makna essensi dari ajaran berkurban”, adalah faktor utama yang perlu dikedepankan. Bukan berarti kepedulian ini hanya serta merta membagi bingkisan kepada kaum miskin atau pembagian BLT. Namun sebuah sikap sosial yang kokoh di masyarakat akan kepedulian terhadap nasib sebangsa dan setanah air, inilah yang paling penting.
Sehingga pemerintah perlu mengkonsep secara sosiologis, tentang interaksi antar individu, kelompok masyarakat, antar institusi di berbagai bidang. Khusus mengenai kepedulian ini Prof Muladi, bahkan mengimbau (20/4/2010), agar penanganan masalah ini tidak hanya ditangani pemerintah sendiri. Melainkan sektor swasta dan stakeholder lainnya perlu dilibatkan. Kalau penyadaran akan kepedulian sosial atau aksi kepedulian sosial ditangani pemerintah, beban APBN akan berat sekali.
Ada Apa Dengan Bumi Kita
Peduli terhadap realita yang mencuat di sekeliling kita, adalah salah salah satu pertanda “manusia yang menghayati semua peribadatan”. Bukan hanya kepedulian terhadap lingkungan sosial saja, tetapi kepedulian terhadap kerusakan lingkungan juga termasuk upaya manusia yang bermanfaat terhadap sesama, sebagai Khalifah di bumi. Bukankah kerusakan lingkungan yang terus ditelantarkan, pada gilirannya nanti bakal mengancam eksistensi kita semua.
Rasa khawatir kita sebagai organisma “primata berderajat paling tinggi” kini merebak dan menggayuti hati kita semua. Bila kita mencermati sebuah realita tentang saudara saudara kita di Uni Sovyet yang sedang berkubang kerusakan iklim.Betapa tidak, menurut salah satu laporan televise swasta nasional, memaparkan bahwa mereka telah meradang di bawah temperature 38 derajat Celsius. Penyebab perubahan suhu yang tidak seperti biasanya ini, adalah sebagian dari menggejalanya kasus pemanasan global (global warming).
Seperti kita ketahui bersama bahwa suhu rata-rata pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca”. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100. (Pemanasan Global, Wikipedia, 2010).
Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pemanasan global tersebut adalah terjadinya kerusakan sirkulasi air laut, sehingga menimbulkan perubahan cuaca yang sulit dipredeksi. Timbulnya gejala kekeringan yang lebih parah di daerah gurun, kegagalan panen yang terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan terbatasnya persediaan pangan, kelangkaan air dan sumber-sumber air, kelaparan yang melanda dunia dan menyebabkan banyak kematian, mebyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim dengan ciri banyak terjadinya badai, menyebabkan berbagai penyakit baik untuk manusia maupun hewan, timbulnya gelombang panas yang mematikan, berkurangnya habitat hewan dan tumbuhan, menyebabkan emigrasi besar besaran manusia dari daerah tandus ke daerah yang lebih baik, bertambahnya konsumsi energi untuk kebutuhan rumah tangga, menyebabkan polusi udara dan menghilangnya lapisan es atau glaciers.
Perubahan cuaca tersebut di atas memang menimbulkan konsekuensi logis yang negatif, terbukti dengan terjadinya cuaca yang ekstrim seperti yang kita rasakan mulai 2 bulan terakhir (Juli dan Agustus) di Indonesia. Bisa kita cermati juga contoh lain, yaitu terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang. Padahal pada bulan bulan itu, mereka biasanya hidup di bawah musim kemarau.
Lantas bagimana saudara kita yang di Uni Sovyet, mereka biasa hidup di tengah temperatur udara 24 derajat Celsius. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan naiknya suhu udara, menyebabkan kenaikan 300 % kandungan CO (karbonmonoksida) di atmosfer. Padahal salah satu sifat CO di muka bumi ini adalah mampu menghalangi fiksasi “alveolus” terhadap Oksigen di paru paru organisme konsumen (manusia dan hewan).
Disamping itu juga bersama sama dengan CO2 (karbon dioksida) karbonmonoksida bakal menyerap kalor matahari. Hal ini menimbulkan perubahan temperature atmosfer meningkat dari tahun ke tahun. Dari realitas fenomena di atas pasti akan timbul pertanyaan dalam benak kita, akankah eksistensi manusia tetap berlangsung seratus tahun ke depan bila fenomena ini terus berlangsung, atau mungkin pula akan lahir organisma manusia straint baru, yang mengalami mutasi genetic.
Hal ini wajar saja bisa terjadi, karena manusia adalah organisma yang memiliki daya adaptasi yang paling comfortable dibanding dengan organisma lainnya. Ditambah lagi manusia memiliki software dengan iptek sebagai hasil cipta dan karsa mereka. Namun demikian hingga kini belum ada satu laporan ilmiahpun yang memprediksi fenomena mutan tersebut. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi.
Oleh karena itu sebuah tindakan manusia dalam upaya pencegahan ini semua perlu dikedepankan sebagai upaya yang paling bijak dan masuk akal. Fenomena yang mengancam eksistensi hidup manusia adalah dimulai dengan tindakan sembrono manusia itu sendiri yang tidak memperhitungkan dampaknya di kemudian hari. Hingga generasi sekaranglah yang harus mewarisi bumi yang sudah tidak ramah lagi.
Dengan sebuah asumsi yang kasar, kita bisa mendeskipsikan bahwa temperature bumi di tahun 2112 adalah sekitar 43 ° C. Di tengah temperatur udara setinggi itu, maka jelas sudah species manusia bakal menemui kepunahan, kecuali bagi mereka yang mengalami peruabahan anatomis, fisiologis dan kriteria biologis lainnya.
Atau dengan olahan cipta dan karsanya manusia mencoba merekayasa lingkungan hidup sedemikian rupa hingga mampu eksis entah sampai kapan atau bahkan dengan ilmu genetic yang telah maju dengan pesat, manusia mampu menciptakan strain manusia mutan yang telah direkayasa genetiknya. Dengan teknik tambal-sulam ikatan DNA yang terdapat pada kromosom manusia atau kromosome hewan. Sehingga manusia mampu mengkombinasikan peta-genetik hewan dan manusia demi daya tahan manusia terhadap change of climate tersebut.
Benarkah fenomena tersebut bakal terjadi di masa depan. Mengacu pada kerusakan iklim yang ekstrim sekarang maka fenomena tersebut bukan isapan jempol biasa. Hanya rasa tunduk kita kepada Tuhan yang Kuasa yang direfleksikan dengan perlakuan santun terhadap alam semesta inilah yang bakal menjadi penyelemat keberlangsungan hidup kita.
Kita patut bersyukur, bahwa wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi. Luas wilayah tersebut menjadikan Indonesia termasuk Negara besar di banding Negara lain. Apalagi luas wilayah tersebut dihuni oleh Penduduk Indonesia yang hingga tahun 2010 ini diperkirakan berjumlah 234.2 juta.
Angka ini berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), yang dicacah untuk penduduk yang bertempat tinggal disekitar 65 juta rumahtangga. Mereka tinggal di sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Cuaca tropis ini mampu menstimulir tumbuhnya hutan tropis seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Meskipun pada Tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha, atau berkurang seluas 58 % (World Resourches Institute, 1977).
Sudah barang tentu setiap anak bangsa pemerhati “negara tercinta ini”, pasti akan kagum dan bangga, namun juga menangis pilu, apabila mereka mencermati realita yang ada. Betapa tidak kekayaan alam Indonesia ternyata tidak mampu menjadi daya dukung pensejahteraan kita sendiri. Hal ini bukan suatu isapan jempol belaka bila kita mencermati data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa jumlah penduduk miskin telah mencapai 31 juta penduduk atau 13, 3 persen pada bulan maret 2010.
Penentuan kategori keluarga miskin oleh BPS tersebut berdasarkan asumsi penghasilan Rp 7.050 per hari untuk setiap jiwa yang sudah termasuk untuk makanan. Angka tersebut mampu berkembang lagi, apabila tolak ukur angka kemiskinan berdasarkan standar PBB sebesar dua dolar rupiah per hari maka jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat menjadi 34.03 persen atau 78.2 juta orang.
Lepas dari tolak ukur yang mana, realitas ini adalah menjadi milik kita bersama dan telah menjadi tugas kita bersma guna mencari peluang untuk pengentasan kemiskinan ini. Peluang yang mampu “membumi hanguskan” sikap pesimis tersebut muncul pada tahun 2010 ini berdasarkan analisa Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Enrique Blanco Armas, yang menyatakan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat telah memberi sumbangan atas pengentasan kemiskinan, dengan tingkat kemiskinan menurun menjadi 13,3 persen pada Maret 2010 dibandingkan 14,2 persen tahun lalu.
Sudah barang tentu, meskipun Negara telah menganggarkan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan sosial 2010 sebesar Rp 70 triliun Namun anggaran tersebut terasa tidak berdaya lagi, lantaran beberapa tipe kemiskinan meghinggapi masyarakat kita, akibat tindakan sewenang-wenang penyelenggara Negara jaman orde baru, yang dengan life style bernegara yang tidak terkontrol sama sekali.
Akibat pengebirian demokrasi, pembatasan pers dan parpol, tidak terjaminya kebebasan berpendapat dan pembagian kekayaan Negara hanya kepada beberapa komunitas yang memusari Soeharto. Sehingga terciptalah tipe-tipe kemiskinan yang mendarah daging, yang pertama adalah Kemiskinan Struktural. Kemiskinan ini disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya.
Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia. Fenomena seperti ini telah menjadi cirri khas dari orde baru. Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
Namun waktu terus bergulir sebagai sinyalemen bahwa tidak ada keputusasaan pada diri kita dalam me-manage masyarakat sosial kita sebagai pilar utama penyokong eksistensi Negara ini. Penyebab utama timbulnya ke tiga gaya kemiskinan tersebut, sudah barang tentu akan tertepiskan dengan adanya era refofmasi, yang dewasa ini bisa kita cermati adanya berbagai kebebasan dalam bernegara. Faktor ini pula yang mampu menjadi stimulus perkembangan komunikasi sosial dengan instrumrn instrumenya, yang bisa memberi pembelajara kepada rakyat tentang nilai dasar multidimensi sosial. Sekaligus mampu memberi pembelajaran tentang motivasi pengentasan kemiskinan.
Apabila kita memang serius untuk menegakan era reformasi dengan cara supremasi hukum yang kokoh, maka tindakan korupsi, KKN, pungli dan eksploitasi sumber daya alam yang masih di tangani individu, birokrasi yang mempersulit rakyat bisa mencapai taraf minimalis. Maka akan terbuka lebarlah peluang bagi si kecil untuk mampu mengembangkan potensinya. Hal ini akan bertambah afdhol lagi, bila kesadaran tentang kepedulian sesama menjadi kokoh, sebagaimana agama apapun mengajarkan berkorban apa saja untuk kemaslahatan sesama.
Wujud kepedulian sosial sebagai “makna essensi dari ajaran berkurban”, adalah faktor utama yang perlu dikedepankan. Bukan berarti kepedulian ini hanya serta merta membagi bingkisan kepada kaum miskin atau pembagian BLT. Namun sebuah sikap sosial yang kokoh di masyarakat akan kepedulian terhadap nasib sebangsa dan setanah air, inilah yang paling penting.
Sehingga pemerintah perlu mengkonsep secara sosiologis, tentang interaksi antar individu, kelompok masyarakat, antar institusi di berbagai bidang. Khusus mengenai kepedulian ini Prof Muladi, bahkan mengimbau (20/4/2010), agar penanganan masalah ini tidak hanya ditangani pemerintah sendiri. Melainkan sektor swasta dan stakeholder lainnya perlu dilibatkan. Kalau penyadaran akan kepedulian sosial atau aksi kepedulian sosial ditangani pemerintah, beban APBN akan berat sekali.
Ada Apa Dengan Bumi Kita
Peduli terhadap realita yang mencuat di sekeliling kita, adalah salah salah satu pertanda “manusia yang menghayati semua peribadatan”. Bukan hanya kepedulian terhadap lingkungan sosial saja, tetapi kepedulian terhadap kerusakan lingkungan juga termasuk upaya manusia yang bermanfaat terhadap sesama, sebagai Khalifah di bumi. Bukankah kerusakan lingkungan yang terus ditelantarkan, pada gilirannya nanti bakal mengancam eksistensi kita semua.
Rasa khawatir kita sebagai organisma “primata berderajat paling tinggi” kini merebak dan menggayuti hati kita semua. Bila kita mencermati sebuah realita tentang saudara saudara kita di Uni Sovyet yang sedang berkubang kerusakan iklim.Betapa tidak, menurut salah satu laporan televise swasta nasional, memaparkan bahwa mereka telah meradang di bawah temperature 38 derajat Celsius. Penyebab perubahan suhu yang tidak seperti biasanya ini, adalah sebagian dari menggejalanya kasus pemanasan global (global warming).
Seperti kita ketahui bersama bahwa suhu rata-rata pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca”. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100. (Pemanasan Global, Wikipedia, 2010).
Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pemanasan global tersebut adalah terjadinya kerusakan sirkulasi air laut, sehingga menimbulkan perubahan cuaca yang sulit dipredeksi. Timbulnya gejala kekeringan yang lebih parah di daerah gurun, kegagalan panen yang terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan terbatasnya persediaan pangan, kelangkaan air dan sumber-sumber air, kelaparan yang melanda dunia dan menyebabkan banyak kematian, mebyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim dengan ciri banyak terjadinya badai, menyebabkan berbagai penyakit baik untuk manusia maupun hewan, timbulnya gelombang panas yang mematikan, berkurangnya habitat hewan dan tumbuhan, menyebabkan emigrasi besar besaran manusia dari daerah tandus ke daerah yang lebih baik, bertambahnya konsumsi energi untuk kebutuhan rumah tangga, menyebabkan polusi udara dan menghilangnya lapisan es atau glaciers.
Perubahan cuaca tersebut di atas memang menimbulkan konsekuensi logis yang negatif, terbukti dengan terjadinya cuaca yang ekstrim seperti yang kita rasakan mulai 2 bulan terakhir (Juli dan Agustus) di Indonesia. Bisa kita cermati juga contoh lain, yaitu terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang. Padahal pada bulan bulan itu, mereka biasanya hidup di bawah musim kemarau.
Lantas bagimana saudara kita yang di Uni Sovyet, mereka biasa hidup di tengah temperatur udara 24 derajat Celsius. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan naiknya suhu udara, menyebabkan kenaikan 300 % kandungan CO (karbonmonoksida) di atmosfer. Padahal salah satu sifat CO di muka bumi ini adalah mampu menghalangi fiksasi “alveolus” terhadap Oksigen di paru paru organisme konsumen (manusia dan hewan).
Disamping itu juga bersama sama dengan CO2 (karbon dioksida) karbonmonoksida bakal menyerap kalor matahari. Hal ini menimbulkan perubahan temperature atmosfer meningkat dari tahun ke tahun. Dari realitas fenomena di atas pasti akan timbul pertanyaan dalam benak kita, akankah eksistensi manusia tetap berlangsung seratus tahun ke depan bila fenomena ini terus berlangsung, atau mungkin pula akan lahir organisma manusia straint baru, yang mengalami mutasi genetic.
Hal ini wajar saja bisa terjadi, karena manusia adalah organisma yang memiliki daya adaptasi yang paling comfortable dibanding dengan organisma lainnya. Ditambah lagi manusia memiliki software dengan iptek sebagai hasil cipta dan karsa mereka. Namun demikian hingga kini belum ada satu laporan ilmiahpun yang memprediksi fenomena mutan tersebut. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi.
Oleh karena itu sebuah tindakan manusia dalam upaya pencegahan ini semua perlu dikedepankan sebagai upaya yang paling bijak dan masuk akal. Fenomena yang mengancam eksistensi hidup manusia adalah dimulai dengan tindakan sembrono manusia itu sendiri yang tidak memperhitungkan dampaknya di kemudian hari. Hingga generasi sekaranglah yang harus mewarisi bumi yang sudah tidak ramah lagi.
Dengan sebuah asumsi yang kasar, kita bisa mendeskipsikan bahwa temperature bumi di tahun 2112 adalah sekitar 43 ° C. Di tengah temperatur udara setinggi itu, maka jelas sudah species manusia bakal menemui kepunahan, kecuali bagi mereka yang mengalami peruabahan anatomis, fisiologis dan kriteria biologis lainnya.
Atau dengan olahan cipta dan karsanya manusia mencoba merekayasa lingkungan hidup sedemikian rupa hingga mampu eksis entah sampai kapan atau bahkan dengan ilmu genetic yang telah maju dengan pesat, manusia mampu menciptakan strain manusia mutan yang telah direkayasa genetiknya. Dengan teknik tambal-sulam ikatan DNA yang terdapat pada kromosom manusia atau kromosome hewan. Sehingga manusia mampu mengkombinasikan peta-genetik hewan dan manusia demi daya tahan manusia terhadap change of climate tersebut.
Benarkah fenomena tersebut bakal terjadi di masa depan. Mengacu pada kerusakan iklim yang ekstrim sekarang maka fenomena tersebut bukan isapan jempol biasa. Hanya rasa tunduk kita kepada Tuhan yang Kuasa yang direfleksikan dengan perlakuan santun terhadap alam semesta inilah yang bakal menjadi penyelemat keberlangsungan hidup kita.
0 komentar